Kisah Pilot yang Mendarat di Bengawan Solo setelah Terjebak Awan Kumulonimbus

Wednesday, December 31, 2014 | comments

Selasa, 30 Desember 2014 | 09:54 WIB TANGERANG, harianmetro1.blogspot.com — Awan kumulonimbus atau cumulonimbus (CB) kerap disebut sebagai musuh utama dalam dunia penerbangan. Masuk ke dalam awan ini berarti akan merasakan guncangan hebat dan diterpa hujan, yang terparah berupa butiran es deras.

Efek bagi pesawat yang masuk ke dalam cumulonimbus (CB) adalah gangguan terhadap instrumen hingga mesin mati. Gagal melewati cumulonimbus (CB) merupakan salah satu dugaan awal atas hilangnya pesawat AirAsia berkode penerbangan QZ8501 pada Minggu, 28 desember 2014.

Abdul Rozaq (58) adalah salah satu pilot Garuda Indonesia yang pernah mengalami rasanya berada di tengah cumulonimbus (CB). Dia adalah pilot yang mendapatkan pujian dunia karena bisa melakukan pendaratan darurat di atas Sungai Bengawan Solo, dengan semua penumpang selamat.

Dalam insiden tersebut, satu pramugari meninggal di tengah proses mengeluarkan penumpang dari pesawat, setelah melewati cumulonimbus (CB) dan pendaratan darurat. Insiden tersebut terjadi pada 17 Januari 2002. "Saat itu pesawat saya belum berteknologi secanggih sekarang, terutama untuk weather radar, alat yang bisa memproyeksikan kondisi cuaca di depan pesawat hingga jarak 20 mil sampai 40 mil," tutur Rozaq di kantor Angkasa Pura II di Bandara Soekarno-Hatta, Senin, 29 Desember 2014.

Rozaq menuturkan, pada waktu itu, dia menerbangkan Boeing 737 dalam penerbangan dari Mataram ke Yogyakarta. Ketika pesawat sudah mengarah ke Bandara Adisutjipto di Yogyakarta, ujar dia, pesawat tiba-tiba berhadapan dengan cumulonimbus (CB) yang sangat besar.

"Jaraknya sudah sangat dekat, sangat sulit untuk menghindar. Kalau enggak salah, di sebelah kiri restricted area, kanannya gunung-gunung, jadi mau enggak mau harus masuk ke dalam awan cumulonimbus (CB)," kenang Rozaq. Terguncang dan mesin mati Begitu sudah berada di dalam CB, lanjut Rozaq, pesawat terguncang bahkan terpental-pental naik-turun hingga sejauh 500 kaki. Prosedur penerbangan darurat pun langsung diaktifkan, termasuk menyampaikan kepada penumpang untuk duduk dan mengenakan sabuk keselamatan, serta berkoordinasi dengan menara pengatur lalu lintas udara (ATC) terdekat.

Namun, tak berselang lama sejak masuk ke dalam cumulonimbus (CB), mesin kedua di pesawat itu mati karena membeku terkena imbas cumulonimbus (CB). Komunikasi dengan ATC pun terputus. Selama beberapa waktu, pesawat terbang tanpa kepastian dan tak tahu kondisi lalu lintas udara di sekitarnya.

"Kami restart mesin, tetapi tidak berhasil. Kopilot teriak mayday, mayday. Saat itu sudah pasrah dan berdoa saja. Kemungkinan terjelek, kami semua mati," tutur Rozaq. Mayday adalah kode yang menyatakan kondisi darurat dalam dunia transportasi internasional, terutama penerbangan.

Menurut Rozaq, ketinggian pesawat juga sudah turun dari area jelajah 30.000 kaki menjadi 20.000 kaki, dan sudah semakin dekat dengan Bandara Adisutjipto. Perlahan pesawat melewati cumulonimbus (CB), dan daratan mulai terlihat, tetapi pesawat tak pada posisi bisa langsung mendarat di bandara tujuan.

Dari semua pilihan yang membentang di depannya, Rozaq memutuskan mendarat di permukaan Sungai Bengawan Solo. "Masih dengan tangan gemetar dan shock, saya coba memberi tahu petugas terdekat (dari lokasi pendaratan darurat)," kata dia.

Berdasarkan pengalamannya, Rozaq berkeyakinan, apa pun yang terjadi dengan AirAsia QZ8501, emergency locator transmitter (ELT) alat untuk memberitahukan lokasi pesawat yang mengalami kecelakaan seharusnya masih berfungsi.

Ketika pesawat yang dipilotinya mendarat di Bengawan Solo, ELT di pesawatnya masih aktif, sekalipun badan pesawat terendam air. Dia berharap, sinyal ELT QZ8501 segera bisa terlacak untuk mempercepat proses penemuan pesawat.

Share this article :

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Harian metro1 Online - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger